Jumat, 21 Maret 2014

Sajak Tanpa Aksara


Sajak-sajakku menjejak bumi
Tanpa abjad, kata dan kalimat
Sepi dari segala unsur tetapi
Beku, baku, kaku, laku

Ini bukan tentang bayan
Majas
Peribahasa
Pantun
Tamsil
Hikayat
dan tuturan

Ini soal pesan yang tak terucapkan

Oleh angin kepada dedaun
Oleh debu kepada embun
Oleh kayu kepada api unggun
Oleh jasad kepada peluh yang berduyun-duyun
Oleh hati kepada wajah nan anggun

Adalah sebuah benda, yang bila ia ditutup, maka gulitalah seluruh mayapada
Bila ia dibuka, maka terang-benderanglah cakrawala

Para pembesar negeri kita, Kawan
Tengah disibukkan dengan sebuah hajatan
Perkara remeh yang menentukan masa depan dan eksistensi mereka
Genderang mulai ditabuh, bermacam bebunyian
Bayan mulai dinyanyikan, berjenis metrum dan langgam
Anjangsana mulai dijalankan, berbagai alasan

Bukankah 2014 sudah di depan mata?

Dan ketika para pembesar itu mulai lupa dengan sebuah kata sederhana: sumpah
Alam pun marah

Langit terbelah, hujan tumpah
Tanah menggeloyor, longsor
Barisan air membuncah: bah!
Bumi terus berdentam, gempa besar mengancam

Belum akan sudahkah?

Sajak-sajak tanpa aksara
Tak mengenal retorika
Celoteh tanpa makna
Senandika berkerumun kata-kata maya
Dan kepedulian semu belaka

Apakah benda pada dirimu tengah tertutup atau terbuka, Kawan?
Tembang alam sumbang tenggelam
Tentang keriput yang bertambah di dahi
Tentang penyeka yang sudah tak kering lagi
Tentang bebunyian di kantong nasi
Tentang pertanyaan demi pertanyaan para bocah yang tak mampu mengejawantah

"Bunda, apakah Tuhan sedang murka?"

"Tidak, Anakku! Tuhan itu Maha Penyayang. Bagaimana mungkin Dia bisa murka?"

"Tapi nyatanya, bencana di mana-mana!"

"Apakah engkau tengah berkeluh-kesah, Anakku?"

"Tidak, Bunda! Aku cuma bertanya."

Dan bagaimana sang ibunda mesti menjawab segala tanya yang tak berujung hingga terlipat ufuk-ufuk lembayung?

Para renta menggigil dipeluk banjir
Gemeretuk gigi sisanya usil mengutuk kaum tajir
Anak-anak berkecipak dalam air
Terbahak-bahak dalam suratan takdir

Negeri ini memasuki titik nadir
Kapan kebahagiaan hakiki sudi hadir?

Sajak-sajak tanpa aksara
Bisu, diam, tak bersuara

Apakah Pengakuan itu Penting?

Apakah pengakuan itu penting?
"Kau hebat!"
"Kau pintar!"
"Kau bisa!"

Apakah pengakuan itu penting?
Seperti halnya burung yang bisa terbang
Mengepakan sayap di bawah biru sang awan

Ada ayam betina bertelur
Kemudian riuh berceloteh
"Kokok-kokok petok, kokok petok"

'Ku bilang...
"Diam!"
Lantas aku kembali bertanya

Apakah pengakuan itu penting?
Saudara?

Maaf, kataku..

Maaf, kataku...
Untuk dusta dua sasi lalu
Merasa aku, berdosa
Percaya retak seumpama kaca

Maaf, kataku...
Untuk tutur dan laku
Biar hujan dua minggu
Tiada mampu membasuh lukamu

Maaf, kataku...
Gadis manis menangis sedu
Sepertinya nalar berbingkai resah
Kotak itu pecah sudah

Maaf, kataku...
Lagi!

Apakah Cinta?

Apakah cinta seperti bintang?
yang hilang ketika pagi datang...

Apakah cinta seperti pelangi?
datang untuk sekejap, lantas pergi lagi...

Apakah cinta seperti hujan?
tiada memilih di mana ia akan turun...

Apakah cinta selayak embun pagi?
yang menguap saat di siram cahaya mentari...

Apakah cinta selayak purnama?
bulat, utuh, penuh, dan tiada terbagi dua...

Atau, Apakah cinta selayak pohon?
yang dahanya bisa bercabang-cabang...

Entahlah...
Apakah cinta seperti puisi?
di tulis, di baca, lalu di kenang...

Apa Yang Harus Aku Lakukan?

Apa yang harus aku lakukan?
Aku sangat mengerti dan memahami, pada saat-saat seperti ini.
Kalian juga tentu pasti paham.
Saat perasaan sedih itu datang tiba-tiba menyapa,
Saat perasaan kecewa itu tiba-tiba menyergap,
Saat luka-luka itu tiba-tiba kembali mengelupas,
Saat mimpi yang kita bangun dengan kokoh tiba-tiba runtuh,
Saat harapan tak lagi sejalan dengan kenyataan,
Dan saat-saat lainya yang membuat sakit, sesak rongga dada.
Hingga putuslah kebahagiaan.

Pada saat-saat seperti itu, aku bahkan mungkin kalian pasti sempat di tusuk oleh pertanyaan seperti ini "apa yang harus aku lakukan?".
Pertanyaan seperti ini yang sering dan tak henti-hentinya menusuk tajam pikiran kita, membuat hati semakin bingung dan resah gelisah, ketar-ketir.
Tak tahu apa yang harus di lakukan.

Apa yang harus aku lakukan?
Apakah kita akan tetap memilih berada pada lingkar kesedihan?
Di situ-situ saja, tak bergerak.
Membiarkan kesedihan menguasai hati dan fikiran.

Apa yang harus aku lakukan?
Apakah kita akan tetap memilih berada pada titik kecewa?
Di situ-situ saja, tak bergerak.
Membiarkannya merusak keyakinan.

Apa yang harus aku lakukan?
Apakah kita akan tetap memilih terluka?
Di situ-situ saja, tak bergerak.
Membiarkan luka itu membusuk, lantas menjalar.

Aduhai...
Apa yang harus aku lakukan?
Segeralah bangkit, bergerak, keluarlah dari lingkar kesedihan, move on menuju kebahagiaan.
Di sana ada banyak kebahagiaan lain.

Aduhai...
Apa yang harus aku lakukan?
Segeralah bangkit, bergerak, susun kembali keyakinan.
Berikan senyuman untuk semua rasa kecewa.

Aduhai...
Apa yang harus aku lakukan?
Segeralah bangkit, bergerak, obati luka-luka itu.
Sebelum ia benar-benar membusuk.
Biarkan penerimaan yang indah kan mengobatinya.

Aduhai...
Apa yang harus aku lakukan?
Mungkin demikianlah jawabannya.

Sajak Terderita

Kepada tuan paduka Raja
Dengarkanlah sajak terderita
Di bawah kaki paduka
Kami menghamba

Wahai tuan paduka Raja
Mahkota di kepala paduka dari siapa?
Dari kami!
Kursi yang paduka duduki milik siapa?
Milik kami!

Mengaku Raja?
Mengimbuh janji di atas dusta

Kembalikan mahkota kami!
Kembalikan kursi kami!
Biarkan kami menjadi Raja

Kepada tuan paduka Raja
Dengarkanlah sajak terderita
Di bawah kaki paduka
Kami mati sengsara

Kutembak Kau dengan Yasin

Gerimis menambah kegalauan hati Greget, dipandangnya buku Yasin sampul hijau putih bertuliskan nama seorang wanita yang telah wafat. Nani Wijaya binti Rohmah Wijaya.     
“Emang dasar tuh cewek, bisa-bisanya bikin gue malu. Ditambah gue harus ngapalin ini surat, 83 ayat, maaaan!!”gerutunya.
Pekan lalu adalah momen tak terlupa dalam benak siswa kelas XII, Greget Adi Putra. Dalam pikirannya, cewek yang terlihat simpel, easy going, gaul, dan pinter itu bakal dapat langsung ia jadikan pacar, sudah sekitar 3 bulan Greget memendam naksir padanya, Giani Rahmatia Wijaya. Namun, bukannya cinta yang didapat, sebuah buku yang ‘keramat’berjudul Yasinlah yang Greget dapatkan.
                “Gila nggak sih tuh si Giani? Hah? Ampun deh!  Ide konyol darimana coba? Gue itu suka sama dia, udah gitu aja. Nih pake bawa-bawa Yasin segala, mana ayatnya banyak. Haaaaah, fuck!! “Bentaknya.
****
            “Nggak ada lagi syarat yang lain apa, Yang?” pinta Greget pada calon pacarnya itu.
                “Yang? Hhhh, jangan berani-berani loe panggil gue yang! Apalin dulu tuh, udah apal berapa hari ini?”
                “Yaaasiin, doang. Ganti deh, sama surat atau syarat apaaa gitu, yang lebih manusiawi.”
                “Boleh.”jawab Giani enteng.
                “Surat Al Baqarah. Mau?”lanjutnya.
Terlihat Greget mulai berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat apakah surat tersebut ayatnya banyak atau malah sedikit.
                “Yang Alif Laam Mim itu, kan? Boleh deh. Perasaan Cuma 5 ayat.”jawabnya polos. 
“Hahahah, itu bagian dari Al-Baqarah, Greg! Semuanya ada 284.”
Tanpa berkata-kata lagi, Greget langsung meninggalkan siswi berjilbab agak lebar itu sendiri di meja kantin, ia sudah tak tahan mendengar apa-apa lagi yang akan ia terima jika berlama-lama berbicara dengannya. Bukan soal cinta yang membara, namun terlanjur akan insiden penembakan memalukan itu yang membuat Greget menuruti kemauan Giani. Jika benar Greget penakluk cewek-cewek, ia harus membuktikan pada Giani, ia harus buktikan mampu hapal surat Yasin sebanyak 83 ayat itu.
***
Kali ini, Greget lebih sering mengaji apa saja untuk melancarkan lidahnya dalam membaca hurup Arab. Terkadang surat Al-Ikhlas, An-Nas, Al-Falaq bahkan sempat membaca surat penutup juz 30 yakni surat An-Naba sebanyak 40 ayat itu, alhasil ia langsung tepar dan besoknya tak mau masuk sekolah. Alasannya konyol ; kram mulut.
                “Apa gue deketin anak-anak rohis aja kali ya? Nggak papa deh, demi sebuah nama baik, gue bayar mereka, per hurup kalau bisa. Yang penting gue bisa hapal Yasin dengan express.”batinnya menemukan sebuah ide gila.           
Siang itu, tepat hari Jumat Greget sengaja mengampiri ruang sekre ekskul rohis, Greget agak canggung, pasalnya pernah suatu hari ia membuat marah staff rohis dengan memutar lagu reggae di masjid SMA. Ia lupakan sejenak kesalahan-kesalahannya itu, ia beranikan diri.
                “Samlekuuuumm.”ucapnya pelan.
Rahman, sang ketua rohis langsung tersenyum dan menyambut Greget hangat. Mereka mulai berbincang.
                “MasyaAllah, Greg. Kamu itu temen kita juga. Kita semua itu saudara malah, monggo kalau mau belajar, kita saling berbagi ilmu. Kapan bisa dimulai?”Tanya Rahman ramah.
                “Yes, thanks, Man. Sekarang juga boleh, gue bawa kok Yasinnya.”
                “Mmm, kalau sekarang kita baiknya Jumatan dulu, Greg. Yok! Udah Jumatan baru mulai, gimana? Mau lha ya? Bisa dong?”
                “Eeeeeeh, ni anak! Dia yang Tanya, dia yang jawab, aneh!” batinnya.
Dengan langkah lambat, Greget Adi Putra shalat Jumat di masjid SMA nya itu, untuk pertama kali. Yakin.
***
                “Greg! Loe kok jarang nongkrong sama kita lagi?”Tanya Bio, teman satu band Greget nampak merasakan kerenggangan mereka akhir-akhir ini.
                “Sorry, Bro! tahu sendiri kan, gue harus ngapalin Yasin itu, surat yang bikin gue kleyengan. Jadi gue sekarang lagi intens sama anak-anak rohis yang lumayan pinter sih, tapi tetep aja cupu mampus. Haha.”
                “Ya oke lah, tapi jangan lama-lama loe, Greg. Nanti malah kebawa jadi anak rohis yang sukanya Cuma lagu-lagu ramadhan doang. Hohoho..”
                “Eh emang apa sih yang buat loe capek-capek ngurusin surat Yasin itu? Loe love is dead sama si Giani? Cewek yang biasa banget, yang kalo presentasi selalu nanya itu..Hhhhh..”
                “Emang dia tuh diliat dari sudut mana aja, manis sih ya.  Hahaha, tapi bukan itu, Man. Gue harus pertahanin martabat gue di depan anak kelas X-XII, loe inget kan gue nembak dia di depan banyak siswa, dan gue di gantung sampe sekarang, sampe gue hapal surat itu. Kalau gue nggak hapal, gue ditolak, Bro.”
                “Berat banget beban di pundak loe, Bro! tabah, Bro.”
                “Fuck loe! Gue, Greget Adi Putra, masa iya dipermaluin sama cewek macem dia, meski lumayan manis sih, tapi gue nggak mau pertaruhin itu.”
                “Hahaha, gile loe. Sip, gue dukung pokoknya. “ tutup Bio.
Seketika mereka menuangkan jus jeruk di gelas masing-masing. Berbincang hangat.
                “Hallo, Gi. Ada apaan? Belum, gue belum hapal suratnya, nyatai aja napeee.”tiba-tiba Giani menghubungi Greget malam itu. Untuk pertama kalinya.
                “Santai, Greg. Gue Cuma mau nanya udah hapal berapa hari ini?”
Greget menggelengkan kepala berkali-kali. Namun di sisi lain ia tersenyum. Entah kenapa.
                “Baru 7. Hahaha.. udah lah, nanti gue kabarin kalo udah 83, tinggal 76 ayat lagi yaaa, wait me.,hahaha.”tutupnya.
                “Calon pasangan pacar masih aja gue-loe? Nggak ada mesra-mesranya, kalian!”protes Bio.
                “Hah? Lha emang harus apa? Masa iya gue harus bilang ana-antum, persis yang sering diucapin si Rahman. Hahahha..”
***
                “Emang gini ya, rasanya belajar Al-Quran? BT, gue, Man!”bentak Greget ketika ia mulai membaca hurup arab dari iqro 1.
                “Ganti deh, bosen gue. “ lanjutnya.
                “Allah itu sayang sama manusia sabar, Greg. Yakin, bisa kok. Kamu udah lancar kok Iqro, Cuma pengulangan aja, ini juga mau langsung ke Al-quran.”
Dengan kesabaran penuh, Rahman Ramadhan membimning temannya itu, kadang kesal juga melihat tingkahnya yang berganti-ganti iqro, iqro 1,5,2,3 1 lagi, sampai Juz Amma dan Al-Quran.
                “Min…ba..di.”
                “Mim ba’di, Greg. Itu iqlab, ketika nun mati ketemu hurup Ba, jadinya Mim, bukan Min.
                Mim..ba’di. mim..baiti.”
                “Nah, sip. Kayak gitu”
Sekitar 1,5 jam mereka belajar membaca hurup arab dari Juz Amma sampai al-quran. Greget tak sabar ingin segera hapal Yasin, segera.
                “Hallo, cewek, gue baru aja belajar Al – Quran, loh. Siap-siap aja loe jadi cewek gue J “ pesan singkat ia kirim pada calon pacarnya itu, yang ia sendiri tak tahu kapan benar-benar jadi pacarnya.  
                “Yeaaah, good job. Buruan hapalnya, cowok terganteng se SMA, masa ngapalin 83 ayat aja lama kalii.”              
                “Ahahaha, loe udah nggak sabar ngedate sama gue, Gi?”
                “Gue udah nggak sabar buat nolak loe yang ke dua kalinya.”
                “Sialan, Loe. Liatin aja. Udah lah, jangan sms-an terus, gue mau fokus. Bye.”
Wajah manis siswi kelas XII itu mulai memerah, terkadang ia mengelus dada membaca isi pesan dari Greget yang suka bikin gregetan itu, namun di sisi lain ia juga khawatir bila ia memang bisa menghapal yasin, ia harus jadi pacarnya. Hal buruk itu tak mau ia alami. Giani yang mulai focus belajar agama sengaja memberi syarat itu, agar Greget pun sama-sama belajar agama, walau caranya so freak!
                “Untung aja dia nggak ngasih syarat bikin gue 10 masjid di kampus. Yasin? Bisa laaah.”bisik Greget dalam hati. Kini, ia belajar mengaji sepekan 2 kali pada Rahman, berharap selain lancar membaca hurup arab juga hapal Yasin dengan cepat.
***
Pekan demi pekan, bulan demi bulan intensitas Rahman dengan Greget makin bertambah, membuat mereka semakin akrab bukan hanya dalam urusan belajar al-quran saja. Greget mulai jarang bertemu dengan teman-teman band-nya, mulai jarang komunikasi dengan Giani, ia ingin benar-benar focus menghapal Yasin, sampai-sampai satu hari, kebanyakn waktunya adalah dihabiskan di sekre eksul rohis atau masjid SMA. Tidak ada yang salah dengam Greget, ia hanya meraskan suasana berbeda setelah lumayan lama bergaul dengan manusia yang dekat dengan agama.
                “Thanks, Man, Dit. Dhuha, witri, tahajud. Enak juga, tapi gue harus mati-matian bangun pagi. Hahaha.”
                “Witir, Greg. Heheh, iya memang, kita juga dulu gitu, nggak instant kayak sekarang ini.” Ucap Aditya, sekretaris rohis SMA.
                “Beneran lho, gua nggak Cuma hoax. Kalau selama di band, gue bisa banggain suara atau penampilan, tapi kalau lagi dhuha, witir, atau ibadah lain yang bisa gue banggain adalah ketika gue bisa ngerjainnya. I’m serious.”
                “Alhamdulillah, Greg. Oh iya, sudah hapal berapa ayat Yasinnya?”
                “Ahaha, gue nggak targetan lagi sekarang, Guys. Biarin aja, yang penting gue lancar bacanya aja dulu. Soal hapal, mudah-mudahan bisa mengalir.”      
                “Tentang Giani?”celetuk Rahman.
                “Mmm..dia baik-baik aja, Kok. Gue juga udah nggak terlalu ngebet naklukin dia. Mikirn dan belajar Al-Quran aja udah bikin gue sibuk, apalagi ditambah dia Hehehe..”
                “Waaah, bahasanya naklukin. Siiiip, Greg. Lanjutkan belajar kita pokoknya untuk Al-Quran dan ibadah-ibadah lain.”
Mereka bertiga berpelukan, hangat, disaksikan masjid SMA yang seakan iri melihat keakraban yang mulai mekar itu.
***
Sudah berapa kali ia memutar handphonenya, siswi berjilbab orens itu kini dilanda kebingungan. Menanti balasan sms dari Greget, kini ia beranikan untuk mengirim sms ke 4 kalinya dengan isi yang sama.
                “Sorry, Gi. Tadi abis dari WC, kenapa? Tenaaang, gue nggak akan ganggu loe lagi deh, paling ngerjain loe dengan kadar rendah, hahaha.”            
                “Yakin loe?”
                “Yakin gue, Insyaallah.”   
Deg ! dari kapan cowok itu bisa berucap insyaallah, mengucap salam juga selalu salah. Hati Giani mulai berdesir, tak seperti biasanya.
                “Udeh ya, gue mau dhuha dulu. Bye!”
Lagi, Giani Rahmatia meraskaan desiran lembut di hatinya. Ia segera meniru Greget, mengambil wudhu dan shalat dhuha, memohon ampun pada Sang Maha Kuasa, jangan sampai ia benar-benar menyukai lelaki itu gegara hari ini ia mengucap insyaallah dan shalat dhuha.
***
                “Hapal 50 ayat nih! Bravoo, Mameeeen. Alhamdulillah.”
                “Loe harus coba yang namanya shalat dhuha, shalat witir, puasa sunnah, tahajud, dzikiiii..”
                “Stop, Greg. Loe ngomong apaan seeh?”
                “Dengerin gue dulu, dodol! Itu semua ibadah keren mampus buat kita yang udah gila sebagai manusia. Gue udah nyoba, dan rasanyaaaa lumeeeerrr…”
                “Loe ngasih ilmu agama, apa iklan permen cokelat? Ah, udah ah…loe udah nggak nyambung sama kita, Greg. Udah berubah! “
                “Eh? Beneraaan, Biooo. Itu semua keren, sekarang jam 10, bisa nih shalat dhuha. Yok!” ajak Greget pada Bio.
                “Ogah, gue mau Flappy Bird-an aja. Sono loe aja.”
                “Susah dasar kalo ngajak cucu Fir’aun. Huh! “ Bentak Greget meninggalkan temannya itu.
***
Angin bertiup lembut, lantunan surat Yasin dari handphone Nokia 6600 berlagu merdu, kadang Greget meniru lagamnya, alhasil tak jarang membuat ia tertawa sendiri.
                “Ya Allah, ampuni Greget sama orangtua Greget, Ya, Pleaseee. Greget baru rasain ibadah itu kayak gini, maafin juga udah jahil sama si Giani, Greget pengen masuk syurga, Ya Allah, kata si Rahman dalam Al-Quran disebutin kalo syurga itu keren abis, mau dong Ya Allah, aamiin.”
Ia lantas membereskan sajadah dan beranjak menemui calon pacarnya itu, memutuskan semua.
                “Hhhh…kadar naksir gue masih ada kok, Gi.”ucap Greget mengawali perbincangan saat keduanya sepakat bertemu di alun-alun kota.
                “Terus? Udah apal semua yasinnya?”
Greget menggeleng diserati senyuman.
                “No Problem, Lah. Sorry, udah bikin loe malu waktu itu. Gue janji, nggak akan bikin hal serupa.”
                “Jadi siap dong ya dipermaluin di depan anak satu sekolahan?”
                “Okey! Nggak masalah.”
                “Loh kok? Nyerah nih?”
                “Gue lebih milih dipermaluin di depan anak satu sekolahan dan setelah itu gue mau masuk rohis, focus belajar sama Rahman dan Adit.”
Sesungging senyum merekah di bibir Giani, ia tak tahan ia berteriak bahagia, namun ditahan sedemikian rupa. Ia mengangguk beberapa kali, pura-pura sedih dan menerima keputusan Greget.
                “Thanks buat Yasinnya, loe emang gila, tapi lumayan lah Yasin itu bisa nganterin itu ke rohis, kenal sama Rahman sama Adit.”
Seketika Greget menyerahkan buku Yasin milik Giani, mereka terdiam beberapa saat, setelah itu Greget pamit meningglkannya sendiri, Giani pun serupa,  cepat-cepat ia pulang dengan hati bahagia, akhirnya kini Greget bisa berkata seperti itu, sebuah jawaban tak terduga. Jawaban ciptaan tuhan yang membuat siapa saja akan bahagia, tak terkira.