Mataku terbelalak. Mulutku memekik tertahan lalu berlari menuju
beranda rumah. Tak percaya rasanya melihat benda itu kini berada di
hadapanku. Sebuah sepeda mini berwarna merah berdiri gagah dan cantik.
Silau sekali mata ini. Tangan pun bergerak menelusuri setiap jengkal
badan sepeda.
“Bagaimana? Suka?” tiba-tiba bapak sudah berada di belakangku.
Aku
mengangguk dengan semangat hingga kuncir rambutku bergoyang-goyang
karenanya. “Bagus, Pak! Aku suka,” sahutku. Kucium dengan takzim tangan
lelaki itu.
“Ini hadiahmu karena dapat juara satu di semester satu kemarin. Bapak sudah menepati janji, lo, ya? Kelas empat ini,
bapak minta kamu harus makin rajin belajar karena pelajarannya tambah
sulit,” tutur Bapak seraya mengelus kepalaku dengan sayang.
Sebuah anggukan cukup menjadi jawaban. Mataku masih belum lepas dari keterpanaan. Kejutan Bapak hari ini sangat membahagiakan.
“Ayo,
sekarang ganti baju lalu makan. Nanti sore kita latihan naik sepeda di
lapangan belakang rumah, ya,” beliau berkata lagi dengan sesungging
senyum di bibirnya.
Kuanggukkan kepala sekali lagi.
“Terima kasih, Pak,” ujarku sembari memandang lekat wajah Bapak sebelum
masuk rumah dan berganti pakaian.
***
Gubrakk!!!
“Aduuh!” erangku tertahan saat tubuhku jatuh dari sepeda dan mendapati lutut ini tergores, sedikit berdarah karenanya. Perih.
Bapak
mengulurkan tangannya lalu memapahku duduk di atas rerumputan. “Sudah,
nggak apa-apa. Cuma luka sedikit saja. Masa anak bapak begitu saja mau
nangis,” tuturnya seraya meniup-niup lukaku agar perihnya hilang.
Mulutku masih mendesis.“Yani nggak mau latihan lagi. Capek. Mana sakit lagi. Dari tadi jatuh melulu,” sungutku kesal.
“Kalau
kamu berhenti sekarang, kamu selamanya nggak akan bisa naik sepeda. Apa
kamu nggak malu sama teman-temanmu? Katanya mau balapan? Mana? Jatuh
sedikit saja sudah putus asa,” nasihat Bapak agar semangatku kembali
tersulut.
“Kalau jatuh lagi, gimana?” gerutuku dengan mulut mengerucut.
“Ya,
bangun lagi. Coba sampai bisa. Masa temanmu bisa, kamu nggak bisa? Kan,
sama-sama makan nasi?” gurau Bapak membuatku tertawa. Ah, Bapak selalu
bisa menakhlukkan hatiku.
“Iya, deh! Yani coba lagi,” sahutku setengah enggan.
Sore
itu kami memulai lagi. Aku naik sepeda sementara bapak memegangi dan
mendorongku dari belakang. Berlari, berkeringat dan terus bersemangat.
Beliau tak pernah mengeluh ataupun terlihat lelah melakukannya. Tentu
tak selancar yang kukira. Berkali-kali aku kehilangan keseimbangan dan
jatuh. Berkali-kali pula bapak membangunkan semangatku untuk terus
mencoba dan mencoba.
Masih dengan tangan yang gemetar
memegang kemudi sepeda, aku memulai lagi. Berusaha menjaga keseimbangan
badan dengan kayuhan kaki dan genggaman kemudi agar tak jatuh lagi.
Kurasakan lama-lama rasanya ringan sekali. Tentu karena Bapak pasti
masih di belakang memegang ekor sepeda, pikirku.
“Ya, terus, Yan! Yang jauh! Lebih jauh lagi!” teriak bapak dari arah belakang.
Ada
yang aneh, batinku. Kenapa suara bapak terasa jauh sekali? Leherku
menoleh ke belakang. Ternyata bapak sudah tak memegangi sepeda ini lagi.
Aku bisa! Aku bisa naik sepeda! Sorakku dalam hati. Bak kuda liar lepas
dari kandang, kaki-kakiku mengayuh pedal berputar-putar mengitari
lapangan. Rasa hati terbang ke awan. Menikmati angin senja yang membelai
rambut dan wajahku. Duhai, nikmat sekali hasil kerja keras hari ini.
Terima kasih untuk semangat yang engkau berikan selama ini, Pak. Aku mencintaimu selalu..
Sabtu, 14 Desember 2013
Mengeja Cinta-Mu
Malam itu...
Dari ujung sajadah
Air mata
Menjelma menjadi kata sebagai doa penutup dusta.
Detik itu...
Dari a – a – a – , ba- ba- ba
Aku mengeja terbata-bata
Berusaha meraba setitik cahaya.
Dari alif- lam- mim
Aku mengikat rindu
Menyelami ayat-ayat cinta-Mu.
Saat itu...
Syurga terlukis indah dari balik Kitab-Mu
Aku termangu
Di lingkaran waktu
Masihkah ada kesempatan setelah beribu pengkhianatan, yaa Ghafur?
Dari ujung sajadah
Air mata
Menjelma menjadi kata sebagai doa penutup dusta.
Detik itu...
Dari a – a – a – , ba- ba- ba
Aku mengeja terbata-bata
Berusaha meraba setitik cahaya.
Dari alif- lam- mim
Aku mengikat rindu
Menyelami ayat-ayat cinta-Mu.
Saat itu...
Syurga terlukis indah dari balik Kitab-Mu
Aku termangu
Di lingkaran waktu
Masihkah ada kesempatan setelah beribu pengkhianatan, yaa Ghafur?
Dia Teman Dekatku, Sayang
Dia hanya teman, sayang..
Teman kecil sampai sekarang,
Sekarang sudah sama dewasa,
Percayalah cinta.
Dia cuma my best friend, beibh,
Teman curahan hati saat susah kala senang,
Susahnya ya dia kerumah,
Senangnya ya aku berbagi,
Di tamanlah, pantai, ke rumah kawan atau kerabatnya,
Kemana sajalah kita jalan.
Dia sebatas pemecah sepi, kasih,
Selain itu ialah batas-batasi,
Jangan cemburu sebelah mata sayang,
Porsiku seutuhnya kau punya,
Dia pengertian, sayang,
Dia selalu ada…
Tetapi, tetaplah tenang sayang,
Ciptanya aku hanya untukmu,
Rasaku untung jadi pilihanmu,
Kau pintar nan panjang sabar,
Sayang, dia teman dekatku.
Dan Engkau kekasihku..
Teman kecil sampai sekarang,
Sekarang sudah sama dewasa,
Percayalah cinta.
Dia cuma my best friend, beibh,
Teman curahan hati saat susah kala senang,
Susahnya ya dia kerumah,
Senangnya ya aku berbagi,
Di tamanlah, pantai, ke rumah kawan atau kerabatnya,
Kemana sajalah kita jalan.
Dia sebatas pemecah sepi, kasih,
Selain itu ialah batas-batasi,
Jangan cemburu sebelah mata sayang,
Porsiku seutuhnya kau punya,
Dia pengertian, sayang,
Dia selalu ada…
Tetapi, tetaplah tenang sayang,
Ciptanya aku hanya untukmu,
Rasaku untung jadi pilihanmu,
Kau pintar nan panjang sabar,
Sayang, dia teman dekatku.
Dan Engkau kekasihku..
Langganan:
Postingan (Atom)