Minggu, 29 Desember 2013

Rindu

Dalam sendu
Rindu menggebu
Terasa syahdu
Bagai butiran debu

Virus cinta mulai menyerang
Meleburkan rindu yang kini usang
Menutup hati yang gersang
Usahlah rindu mengerang

Bila kata tak lagi bermakna
Tingkah laku menjadi bukti
Agar semua menjadi berarti
Sebab hati menunggu disana

Ternyata, Aku Mencintai Malam

Dulu aku menganggap remeh dengan Warna Hitamnya, Gelap tak berwarna. "Apa yang bisa didapatkan dari Satu Warna saja?" begitu Aku bertanya Waktu senja yang mulai memudar.

Aku sudah jatuh Cinta pada sosok Pelangi. Warnanya yang indah menghiasi Hati. Aku bertemu denganya Sore saat Hujan tinggal menyisakan rintik sedikit. Walau kehadiranya sesaat tapi ronanya melekat di Hati.

Seperti inikah yang namanya Cinta? Hati menjadi berbunga sama indahnya dengan Warna-warna pelangi. Benar ternyata aku sangat mengaguminya.

Sejak sore itu Aku mulai menjadi detektif. Mencari tahu tentang pelangi. Segala hal yang berhubungan denganya ingin Aku ketahui. Keluarganya, makanan kesukaanya dan apapun itu.

Hingga Aku mendapat informasi kenapa Dia hanya muncul sesaat. Ternyata dia telah tertambat. Entah pada siapa, Aku tidak mau tahu. Sakit rasanya..

Aku ini senja sedang patah hati, merenung seorang diri. Kemudian Aku curhatkan pada Malam tentang sakit hati ini. Dia mengerti dan mau menemani.

Kenapa Malam begitu setia mendengarkan keluhku Setiap Waktu? Apa dia mencintaiku?

Dan aku mengerti sekarang, Malamlah yang mencintaiku bukan Pelangi. Biar aku serahkan ujung senjaku pada Malam. Meyerah pada peluk sayang. Gelap,dan nyaman bersama Malam..

Sujudku Di Mihrab Cinta

Air wajahmu
Nian mencumbu; di mihrab rindu..
Menampar masam,
Pendar-pendar kesunyian
Yang menipu

Bergulir..
Seirama ayunan dzikir
Lalu terbenam di kubangan
Ceruk-ceruk bisu

Bintang gemintang adalah engkau
Menukik lirih dalam lengkingan pekik; di jubah malu yang membabi buta
Lalu membuncah di antara hamparan madat-madat cinta
Terbungkam oleh pendamnya mantra

Aku telah sampai di ambang batas yang seharusnya tak berbatas
Bak musafir jingga yang dahaga di tepian telaga kautsar
Sementara periuk asaku nian mengembang dalam gumpalan radang
Serupa tuna cinta yang terombang-ambing di alam remang

Apakah itu bebisik bayu atau sekedar bualan semu?
Benarkah engkau sebelah sayap patahku?
Ataukah ini hanya setitik oase di gurun ungu?
Yang sejenak datang lalu menghilang; terkubur pilu yang membeku..

Dibawah Bayangan Bulan

Garis-garis lintang, membujur malang..
Bayang Bulan menyebar bias temaram..
Nada-Nada Malam memecah Sunyi..
Masa gerimis telah usai ..

Guratan jingga membekas Malam..
Kusemat kamboja putih
Diantara gerai rambutmu..
aroma wangi gelitik hati..

Perempuanku ... Kau cantik ...
Perempuanku ... Kau wangi ...
Perempuanku ... Kau menggelitik ..

Dibawah bayang Bulan, Aku kasmaran..

Tentang Cinta

Kita dipertemukan oleh rasa
Rasa yang hadir dalam cinta
Cinta tertanam dalam rindu
Rindu membuat hati sendu

Kita dipisahkan pula oleh jarak
Jarak yang membentang jauh
Jauh di lubuk hati terdalam
Sedalam waktu yang terus berputar

Kita terbentuk oleh cinta
Cinta yang teruji waktu
Waktu membuktikan kepercayaan
Kepercayaan melahirkan kesetiaan
Setia sehidup semati..

Sabtu, 14 Desember 2013

"Bapakku, Api Semangatku"

Mataku terbelalak. Mulutku memekik tertahan lalu berlari menuju beranda rumah. Tak percaya rasanya melihat benda itu kini berada di hadapanku. Sebuah sepeda mini berwarna merah berdiri gagah dan cantik. Silau sekali mata ini. Tangan pun bergerak menelusuri setiap jengkal badan sepeda.

“Bagaimana? Suka?” tiba-tiba bapak sudah berada di belakangku.

Aku mengangguk dengan semangat hingga kuncir rambutku bergoyang-goyang karenanya. “Bagus, Pak! Aku suka,” sahutku. Kucium dengan takzim tangan lelaki itu.

“Ini hadiahmu karena dapat juara satu di semester satu kemarin. Bapak sudah menepati janji, lo, ya? Kelas empat ini, bapak minta kamu harus makin rajin belajar karena pelajarannya tambah sulit,” tutur Bapak seraya mengelus kepalaku dengan sayang.

Sebuah anggukan cukup menjadi jawaban. Mataku masih belum lepas dari keterpanaan. Kejutan Bapak  hari ini sangat membahagiakan.

“Ayo, sekarang ganti baju lalu makan. Nanti sore kita latihan naik sepeda di lapangan belakang rumah, ya,” beliau berkata lagi dengan sesungging senyum di bibirnya.

Kuanggukkan kepala sekali lagi. “Terima kasih, Pak,” ujarku sembari memandang lekat wajah Bapak sebelum masuk rumah dan berganti pakaian.

***

Gubrakk!!!

“Aduuh!” erangku tertahan saat tubuhku jatuh dari sepeda dan mendapati lutut ini tergores, sedikit berdarah karenanya. Perih.

Bapak mengulurkan tangannya lalu memapahku duduk di atas rerumputan. “Sudah, nggak apa-apa. Cuma luka sedikit saja. Masa anak bapak begitu saja mau nangis,” tuturnya seraya meniup-niup lukaku agar perihnya hilang.

Mulutku masih mendesis.“Yani nggak mau latihan lagi. Capek. Mana sakit lagi. Dari tadi jatuh melulu,” sungutku kesal.

“Kalau kamu berhenti sekarang, kamu selamanya nggak akan bisa naik sepeda. Apa kamu nggak malu sama teman-temanmu? Katanya mau balapan? Mana? Jatuh sedikit saja sudah putus asa,” nasihat Bapak agar semangatku kembali tersulut.

“Kalau jatuh lagi, gimana?” gerutuku dengan mulut mengerucut.

“Ya, bangun lagi. Coba sampai bisa. Masa temanmu bisa, kamu nggak bisa? Kan, sama-sama makan nasi?” gurau Bapak membuatku tertawa. Ah, Bapak selalu bisa menakhlukkan hatiku.

“Iya, deh! Yani coba lagi,” sahutku setengah enggan.

Sore itu kami memulai lagi. Aku naik sepeda sementara bapak memegangi dan mendorongku dari belakang. Berlari, berkeringat dan terus bersemangat. Beliau tak pernah mengeluh ataupun terlihat lelah melakukannya. Tentu tak selancar yang kukira. Berkali-kali aku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Berkali-kali pula bapak membangunkan semangatku untuk terus mencoba dan mencoba.

Masih dengan tangan yang gemetar memegang kemudi sepeda, aku memulai lagi. Berusaha menjaga keseimbangan badan dengan kayuhan kaki  dan genggaman kemudi agar tak jatuh lagi. Kurasakan lama-lama rasanya ringan sekali. Tentu karena Bapak pasti masih di belakang memegang ekor sepeda, pikirku.

“Ya, terus, Yan! Yang jauh! Lebih jauh lagi!” teriak bapak dari arah belakang.

Ada yang aneh, batinku. Kenapa suara bapak terasa jauh sekali? Leherku menoleh ke belakang. Ternyata bapak sudah tak memegangi sepeda ini lagi. Aku bisa! Aku bisa naik sepeda! Sorakku dalam hati. Bak kuda liar lepas dari kandang, kaki-kakiku mengayuh pedal berputar-putar mengitari lapangan. Rasa hati terbang ke awan. Menikmati angin senja yang membelai rambut dan wajahku. Duhai, nikmat sekali hasil kerja keras hari ini.

Terima kasih untuk semangat yang engkau berikan selama ini, Pak. Aku mencintaimu selalu..

Mengeja Cinta-Mu

Malam itu...
Dari ujung sajadah
Air mata
Menjelma menjadi kata sebagai doa penutup dusta.

Detik itu...
Dari a – a – a – , ba- ba- ba
Aku mengeja terbata-bata
Berusaha  meraba setitik cahaya.

Dari  alif- lam- mim
Aku mengikat rindu
Menyelami ayat-ayat cinta-Mu.

Saat itu...
Syurga terlukis indah dari balik Kitab-Mu
Aku termangu
Di lingkaran waktu
Masihkah ada kesempatan setelah beribu pengkhianatan, yaa Ghafur?

Dia Teman Dekatku, Sayang

Dia hanya teman, sayang..
Teman kecil sampai sekarang,
Sekarang sudah sama dewasa,
Percayalah cinta.

Dia cuma my best friend, beibh,
Teman curahan hati saat susah kala senang,
Susahnya ya dia kerumah,
Senangnya ya aku berbagi,
Di tamanlah, pantai, ke rumah kawan atau kerabatnya,
Kemana sajalah kita jalan.

Dia sebatas pemecah sepi, kasih,
Selain itu ialah batas-batasi,
Jangan cemburu sebelah mata sayang,
Porsiku seutuhnya kau punya,

Dia pengertian, sayang,
Dia selalu ada…

Tetapi, tetaplah tenang sayang,
Ciptanya aku hanya untukmu,
Rasaku untung jadi pilihanmu,
Kau pintar nan panjang sabar,

Sayang, dia teman dekatku.
Dan Engkau kekasihku..