Rabu, 19 Maret 2014

Melayani setulus hati, Mengabdi tiada henti


Birokrasi, sebuah kata yang begitu sederhana tetapi terbayangkan serumit benang yang kusut. Bila mendengar kata birokrasi, hal pertama yang terbayangkan adalah rasa lelah dan kesal menghadapi rangkaian proses panjang yang tidak diketahui dimana ujungnya, aturan-aturan yang kurang bahkan tidak jelas transparansinya juga adanya unsur ‘uang’. Sebagai masyarakat awam birokrasi bagai fenomena kemacetan yang terjadi sehari-hari di kota-kota besar, sulit dihindari, dan sulit pula untuk diatasi. Pada akhirnya, masyarakat hanya dapat mengeluh menghadapi sistem yang mungkin tidak bisa diubah hanya dalam sekejap mata. Keluhan ini merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Padahal kualitas pelayanan publik merupakan indikator penting untuk mengetahui sejauh mana suatu pemerintahan telah menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepada Pemerintah.

Politik, pelayanan publik dan birokrasi adalah tiga mata rantai yang saling terhubung guna mencapai kemajuan suatu negara. Pelayanan publik merupakan hasil dari proses politik yang ditindaklanjuti oleh birokrasi pemerintahan. Bila salah satu dari ketiganya mengalami kebobrokan maka bisa dipastikan arus informasi dan kebijakan yang dilewatkan akan banyak mengalami penyimpangan dan in-efisiensi.

Carut marutnya kondisi bangsa ini diberbagai sisi juga mungkin tidak lepas dari pengaruh buruknya birokrasi dan pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan laporan bank dunia dalam World Development Report 2004 yang menyatakan bahwa pelayanan publik di Indonesia tergolong masih sangat buruk. Fakta dilapangan membuktikan bahwa kasus-kasus ketidakjelasan aturan mengenai biaya dan waktu pelayanan yang berujung pada KKN masih marak terjadi. Padahal berbagai peraturan perundangan telah dibuat oleh pemerintah seperti UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Kenyataannya peraturan perundangan tersebut kini tak lebih hanya goresan tinta hitam diatas kertas putih belaka.

Bagaimana cara mengatasinya?
Beberapa langkah strategis yang menurut saya dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja kelembagaan birokrasi yaitu:

1. Membangun Kesadaran Bahwa Birokrat adalah “Pelayan Rakyat”
Sudah saatnya paradigma pemerintah sebagai pemegang kekuasaan itu diubah menjadi pelayan rakyat. Bila seseorang menganggap dirinya tinggi dan berkuasa maka dia hanya akan memberikan kemampuan sekedarnya untuk rakyat, tapi bila seseorang sejak awal berniat untuk mengabdikan dirinya untuk melayani maka orientasi pertama adalah bagaimana memuaskan hati rakyatnya. Sosok seorang raja semestinya bukan hanya sebagai simbol kekuasaan belaka tapi juga merupakan simbol pelayan terbaik bagi rakyatnya. Sehingga raja tersebut disegani bukan karena orang-orang takut akan kekuasaannya tetapi karena rakyat mencintainya.

2. Membangun Kesadaran Bahwa Masyarakat adalah “Raja”
Sebuah pepatah kuno menyatakan bahwa pembeli adalah raja. Pada kasus birokrasi dan pelayanan publik, masyarakat dapat diumpamakan sebagai seorang pembeli jasa yang harus dilayani bak seorang raja. Sebagai raja tentunya rakyat harus dilayani sebaik mungkin. Bila dilihat pada kenyataannya saat ini, penempatan peran rakyat sebagai raja yang harus dilayani itu masih sangat jauh dari harapan. Beberapa oknum birokrat masih sering terlihat congkak ketika melakukan kegiatan Pelayanan Publik. Dengan menempatkan posisi rakyat sebagai raja, seharusnya kenyamanan publik sangat diperhatikan sebagai pengguna layanan, apa yang diinginkan publik sebaiknya menjadi orientasi pertama yang perlu diproritaskan oleh para birokrat.

3. Memberikan sanksi yang tegas dan jelas terhadap berbagai jenis pelanggaran yang dilakukan oleh oknum di lembaga-lembaga pelayanan publik.
Bagaimana pun hebatnya strategi yang dibuat di daerah, tidak akan bertahan lama jika akar utama permasalahannya tidak diselesaikan. Ibarat rumput liar, sekalipun tajuknya dibasmi tapi jika akarnya masih utuh maka sia-sia saja karena ia pasti akan tumbuh lagi dengan bentuk yang lain. Pembenahan berkesinambungan perlu dilakukan sembari terus membuat terobosan-terobosan kecil yang aplikatif di masyarakat. Sembari melakukan pembenahan jangka panjang tersebut, masih ada hal-hal lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk meminimalisir penyebaran dan perluasan patologi birokrasi ini secara progresif. Misalnya saja seperti yang saat ini sedang popular yaitu membuat model-model best practices untuk skala kecil tingkat daerah hingga provinsi.

Sebagai bagian dari pengguna layanan publik, saya mencoba untuk menuangkan ide pribadi membentuk model best practices yang berorientasi pada desa. Desa merupakan unit birokrasi terkecil yang langsung menyentuh lapisan masyarakat, sehingga perubahan signifikan terkait birokrasi sangat potensial untuk dikembangkan di desa. Sejauh yang saya lihat selama ini kegiatan-kegiatan pelayanan publik lebih banyak berorientasi untuk wilayah yang cakupannya luas dan cenderung dipusatkan di satu titik, misalnya kecamatan atau bahkan kabupaten. Bahkan untuk beberapa daerah yang belum mempunyai model best practices, pola pelayanannya masih cenderung mengikuti hierarki, dimana bila akan mengurus surat-surat kependudukan saja misalnya, masyarakat harus mendapat surat pengantar dari RT hingga kecamatan, yang terkadang pihak berwenangnya sulit ditemui.

Menurut saya hal itu kurang efisien dan efektif, untuk membuat surat-surat yang berhubungan dengan administrasi negara saja, harus keliling sana sini, yang tentunya menjadi kendala karena memakan waktu dan tenaga. Belum lagi bila desa tersebut merupakan desa terpencil yang akses transportasinya sulit. Alangkah lebih baiknya bila di setiap desa dibuatkan sebuah tempat khusus untuk menangani berbagai bentuk administrasi negara seperti membuat KTP, surat nikah, akta dan sebagainya. Dapat dibayangkan betapa efektifnya bila membuat surat-surat kependudukan semudah membuat ATM di bank, layanannya senyaman ketika ada di tempat-tempat pelayanan publik milik swasta dimana setiap orang diperlakukan ramah dan dilayani dengan cepat dan tidak berbelit-belit. Dengan mudahnya akses internet dan kecanggihan teknologi saat ini, sebaiknya data-data mengenai kependudukan dan administrasi negara tersebut disatukan pada satu server yang sama. Dengan demikian dapat menghemat kertas, waktu dan memudahkan pengecekan bila ternyata ada kesalahan juga memudahkan akses dimanapun dan kapanpun.

Unit pelayanan masyarakat yang ada didesa-desa tersebut dapat diibaratkan seperti sebuah ranting dimana satu ranting dengan ranting lain dapat terhubung dengan mudah bagai sebuah sistem dalam pohon. Dengan demikian harapannya orang yang asalnya dari desa A tetapi merantau sampai di kota B desa C, dapat dengan mudah membuat surat-surat kependudukan tanpa harus ia pulang ke kampung halamannya dulu.

Dalam hal pertanian, selain dibangun unit pelayanan administrasi terpadu ditingkat desa, saya juga berpikir alangkah baiknya bila di desa-desa juga diadakan semacam tempat yang dapat pula disebut agricultural center, AC (agricultural center) yang dapat digunakan sebagai wadah untuk membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat terutama terkait dengan bidang-bidang pertanian dalam arti luas. AC juga dapat dijadikan tempat untuk memberikan pelatihan kepada masyarakat yang bergerak dibidang pertanian secara luas untuk menghasilkan produk unggul berbasis sumberdaya lokal yang mampu menembus pasaran ekspor. AC juga dapat digunakan sebagai wadah sosialisasi kebijakan pemerintah terkait dengan bidang-bidang pertanian dalam arti luas. Dengan demikian diharapkan keberadaan AC dapat mendongkrak pengetahuan masyarakat tentang pertanian sekaligus meningkatkan perekonomian di tingkat desa.

Terkait masalah kesehatan, saya tertarik untuk menyoroti kasus Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Kesehatan adalah masalah vital bagi setiap orang, sudah sepatutnya masalah kesehatan benar-benar menjadi perhatian utama terlebih untuk masyarakat kelas menengah kebawah. Umumnya biaya rawat inap dan obat dirumah sakit sangat mahal dan tidak terjangkau untuk masyarakat menengah ke bawah. Sangat disayangkan melihat pengguna Jamkesmas hanya diperlakukan sekedarnya di rumah sakit-rumah sakit rujukan. Sekedarnya dalam artian kurang diprioritaskan. Jika mereka bisa memilih, mungkin mereka rela menghabiskan seluruh kekayaan yang mereka miliki untuk pelayanan kesehatan yang terbaik. Tetapi saya yakin mereka seperti itu karena mereka tidak mampu untuk memilih, karena itu pada saat seperti inilah kebijaksanaan pemerintah sebagai pembuat kebijakan juga pemberi layanan publik sangat penting peranannya. Saya hanya ingin memberi masukan, jika memang bisa memberi bantuan pelayanan kesehatan yang terbaik, kenapa tidak?

Terinspirasi sebuah rumah sakit di Korea, yang membedakan rumah sakit tersebut dengan rumah sakit pada umumnya yaitu terdapat semacam badan amal di dalam rumah sakit yang gencar mencari donor biaya untuk pasien tidak mampu yang masuk ke rumah sakit tersebut. Bahkan pihak rumah sakit memberikan diskon biaya perawatan yang cukup besar untuk orang-orang yang tidak mampu, padahal rumah sakit tersebut termasuk rumah sakit swasta. Hal yang lebih membuat saya terharu yaitu rumah sakit tersebut tidak membeda-bedakan pelayanan kesehatan untuk pasien yang masuk ke rumah sakit tersebut. Baik dokter maupun pekerja di rumah sakit tersebut benar-benar sangat ramah dan memperhatikan pasiennya, bahkan pada libur-libur pergantian musim, pihak rumah sakit mengadakan semacam acara hiburan untuk pasien-pasien yang memang sudah tahunan menjadi pasien tetap di rumah sakit tersebut. Acara hiburan tersebut juga tidak diisi oleh orang luar, tetapi juga orang-orang dalam rumah sakit sendiri, dimulai oleh para dokter, perawat hingga staf rumah sakit tersebut tak segan-segan unjuk gigi dihadapan para pasiennya.
Menurut saya hal ini sangat menarik, karena membuat gap antara pihak rumah sakit dan pasien semakin kecil, dengan demikian harapannya pasien merasa nyaman dan tidak tertekan dengan penyakitnya sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung dengan baik.
Saya juga ingin menyarankan puskesmas didirikan disetiap desa dengan jam operasional 24 jam dengan kualitas pelayanan prima. Berdasarkan pengalaman saya, tidak jarang masyarakat kecil enggan berobat dini dan menganggap penyakitnya ringan, padahal jika hal ini dibiarkan berlarut-larut justru membuat penyakitnya semakin parah. Pada akhirnya biasanya mereka terpaksa harus masuk rumah sakit dan menghabiskan banyak uang karena penyakitnya sudah tidak dapat ditangani oleh dokter biasa. Hal ini sangat ironi, bila akses terhadap kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah itu mudah, cepat dan murah mungkin tidak akan seperti ini. Beberapa cerita terkait pendaftaran kartu jamkesmas lainnya yakni masyarakat mengeluhkan prosedur yang lama, padahal sakit yang mereka derita bukanlah sesuatu yang dapat diminta untuk menunggu.

Ide saya yang lain terkait tema best practices pelayanan publik yaitu membuat semacam tempat pelatihan keterampilan, wirausaha dan pemberdayaan masyarakat ditingkat desa. Misalnya ditempat tersebut masyarakat diajarkan proses pemisahan sampah organik dan anorganik, bagaimana membudayakan lingkungan sehat dengan memisahkan sampah organik dan anorganik, juga pelatihan membuat bahan yang dapat dimanfaatkan dari kedua jenis sampah tersebut. Masyarakat juga diberi pelatihan untuk melatih keterampilan dalam membuat wirausaha mandiri. Tidak hanya sebatas wadah untuk melatih keterampilan, tapi lebih dari itu tempat tersebut mampu menjadi pusat dari kegiatan kreativitas juga menjadi tempat induk sementara yang mewadahi hasil-hasil kreativitas masyarakat sebelum mereka siap untuk dilepas secara mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar